IKADA Kupang Angkat Budaya Ngada Lewat Talkshow Sagi So’a dan Larik Riung

Ketika akar budaya nenemui langkah zaman.

Kota Kupang, TIRILOLOKNEWS.COM || REGIONAL – Ikatan Keluarga Ngada (IKADA) Kupang menggelar talkshow kebudayaan bertajuk “Menenun Mozaik Budaya Sagi So’a dan Larik Riung di Era Kekinian” pada Sabtu, (23/8/2025). Acara talkshow diselenggarakan di Aula Santo Paulus, Lantai 4 Gedung Rektorat Universitas Katolik Widya Mandira (UNWIRA) Kupang – Kampus Penfui.

Talkshow ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Drs. Bei Marselinus, MM selaku pegiat budaya So’a, Drs. Cyrilus Sungga sebagai pegiat budaya Riung, dan Dr. Watu Yohanes Vianey, M.Hum yang merupakan dosen Fakultas Filsafat dan Agama (FFA) UNWIRA Kupang. Diskusi dipandu oleh Isidorus Lilijawa.

Sagi So’a merupakan tradisi tinju adat masyarakat etnis So’a di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Tradisi ini menjadi bentuk ungkapan syukur atas hasil panen, sarana memperkuat kebersamaan dan spiritualitas, serta wadah untuk menjalin persaudaraan antarwarga. Sementara itu, Larik adalah tarian perang tradisional dari masyarakat etnis Riung yang biasanya dipentaskan setahun sekali di kampung-kampung adat sebagai simbol solidaritas dan persatuan.

Dalam wawancara bersama Radio TIRILOLOK, Ketua Panitia Pentas Budaya Sagi So’a dan Larik Riung 2025, Antonius Gili, menyampaikan bahwa persiapan acara telah dilakukan secara maksimal. Ia menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan kembali budaya lokal kepada generasi muda yang selama ini jarang terlibat langsung dalam kegiatan budaya daerah.

“Kami ingin generasi milenial kembali mengenal budayanya sendiri. Banyak dari mereka belum pernah menyaksikan atau terlibat langsung dalam acara-acara seperti Sagi, apalagi memahami alat-alat atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.”

Lebih lanjut, Antonius mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk kolaborasi dari dua paguyuban, yakni Riung dengan Lariknya dan So’a dengan Saginya.

“Kami ingin menunjukkan kepada publik bahwa budaya Ngada itu sangat kaya. Bukan hanya Jai dan Rebah. Di Bajawa saja ada tiga etnis besar: Bajawa, Riung, dan So’a. Ini yang menjadi dasar program kerja IKADA,” ujarnya. Ia juga menyebut bahwa setelah sukses menggelar acara Rebah dalam beberapa tahun terakhir, kali ini IKADA memberi ruang kepada etnis Riung dan So’a untuk menampilkan kekayaan budaya mereka melalui pentas budaya bersama.

Antonius juga menyampaikan keprihatinan terhadap kurangnya keterlibatan generasi muda dalam pelestarian budaya.

“Selama ini, mahasiswa dan generasi muda pada umumnya tidak banyak yang mau terlibat langsung, baik di kampung maupun di luar kampung. Sangat sulit mengajak mereka untuk membicarakan atau melestarikan budaya,” katanya. “Harapan kami sebagai orang tua, marilah anak-anak muda kembali belajar ke rumah, mencari tahu, menulis sejarah budaya, dan menggali apa yang telah diwariskan oleh leluhur kita. Mereka harus mulai meneliti dan mengembangkan budaya sendiri, jangan sampai kita hanya sibuk meniru budaya dari barat.”

Kabupaten Ngada sendiri dikenal luas akan kekayaan budaya dan alamnya. Selain tradisi-tradisi unik seperti Sagi dan Larik, daerah ini juga memiliki destinasi ikonik seperti Gunung Inerie serta kampung adat Bena dan Wogo yang menjadi simbol pelestarian budaya leluhur.