Dalam senyap pagi kota Kupang, ketika matahari mulai menembus kelopak awan, ada sebuah mobil kecil yang melaju pelan menuju sebuah gedung sederhana — markas Radio Tirilolok. Di balik kemudi, tampak sosok laki-laki dengan wajah teduh, tangan cekatan membawa stir, namun matanya menyiratkan sesuatu lebih: kecintaan pada nada dan getar suara manusia. Dialah Simon Sakan — sopir, operator, dan “Spesialis Country” di radio itu.
Simon bukan sekadar pekerja radio. Ia adalah penjaga gerbang suara — memilih, memutar, dan menghidupkan lagu-lagu Country yang melayang dari gelombang udara menuju telinga para pendengar. Di antara deru mesin mobil, kabel-kabel set meja siaran, dan tombol-tombol kecil di Mixer, ia menemukan ritme hidup yang sederhana dan penuh cinta. Setiap ketukan gitar, setiap petikan biola, setiap lirik bersayap – bagi Simon, itu bukan sekadar melodi; itu doa, harapan, pertemuan antara hati manusia.
Radio Tirilolok, yang telah berpuluh tahun menemani masyarakat dengan berita, ucapan syukur, permohonan doa, dan musik tradisi, menemukan teman yang pas dalam diri Simon. Meski datang sebagai sopir, Simon dengan cepat menjadi bagian penting dari ruang operator—ruang kecil penuh tombol, kabel, dan lampu berkedip yang baginya terasa seperti rumah kedua.
Radio Tirilolok, sejak lama menjadi “Suara bagi yang tak bersuara” — bukan hanya menyebar informasi dan berita, tapi juga memeluk jiwa melalui musik, doa, dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam identitasnya sebagai stasiun dengan motto “We Are The Voice of the Voiceless”, radio ini memang tertanam sebagai jembatan antara suara-suara kecil — dari pelosok, pinggiran, atau dari kehidupan sehari-hari yang sering terabaikan.
Simon hadir di antara itu — bukan sebagai penyiar dengan suara besar, tapi sebagai pemberi ruang bagi nada-nada lembut, bagi cerita-cerita sunyi, bagi harapan yang dilantun dalam balutan musik Country. Ia tak selalu berdiri di depan mikrofon; sering ia memilih senyap, memilih untuk memutar lagu sambil membiarkan melodi berbicara. Dan dalam kesunyian itu, mungkin bagi sebagian orang yang mendengarkan, ada getar rindu; rindu tanah jauh, rumah lama, cinta lama, atau sekadar kelegaan dari hari yang letih.
Musik sebagai Tempat Pulang
Bagi banyak pendengar, radio tak sekadar hiburan. Ia adalah tempat pulang, ketika lelah, ketika rindu, ketika hati terasa sunyi. Lagu Country — dengan petikan gitar yang tenang, suara penyanyi yang hangat, kata-kata sederhana namun penuh makna — menjadi ungkapan hati yang universal: kehilangan, harapan, kerinduan, dan pelukan lembut dari jauh. Dalam tangan Simon, lagu-lagu itu mendapat nyawa baru. Ia seperti tukang kebun jiwa — menanam nada, menyiram rasa, membiarkan bunga-bunga kerinduan mekar di udara malam.
Dan ketika susunan program bergeser, saat kota Kupang terlelap, ketika malam melingkupi, Radio Tirilolok tetap menyala. Simon mungkin sudah pulang ke rumahnya — tapi lewat siaran, lewat kabel dan gelombang, suaranya tetap mengalun. Sebuah lagu Country di udara malam bisa jadi satu-satunya teman bagi mereka yang jauh dari rumah, mereka yang rindu kampung, mereka yang kesepian. Dalam diam itu, manusia menemukan bahwa mereka tidak sendiri.
Nilai di Balik Gelombang
Cerita Simon menegaskan bahwa di dunia yang sering terobsesi dengan gemerlap dan gegap-gempita, ada kekuatan dalam kesederhanaan. Kesetiaan pada hal kecil — memutar lagu, menjaga niat baik, memberi ruang bagi suara-suara sunyi bisa menjadi kehadiran yang berharga. Ia mengajarkan bahwa setiap peran, sekecil apa pun, mempunyai arti. Bahwa dalam sebuah radio kecil di timur Indonesia, di balik meja operator, seseorang bisa menjadi jembatan kasih — antara kota dan kampung, antara masa lalu dan harapan, antara sunyi dan penghiburan.
Radio Tirilolok tidak hanya media penyiaran. Ia adalah rumah bagi banyak suara keberagaman budaya, iman, harapan, rindu, dan duka. Dan Simon Sakan dengan mobil tuanya, tangannya pada stir, jari-jemarinya pada knop siaran membawa keberanian sederhana yakni membantu menyatukan hati lewat musik. Ia menegaskan bahwa suara kita mungkin kecil, tapi bila kita berani bersuara, kita bisa memberi pelita bagi mereka yang gelap, harapan bagi mereka yang lelah.
Ketika jam siaran musik tiba, Simon seperti memasuki dunianya sendiri. Lagu country mengalun: gitar yang jujur, harmonika yang lirih, dan suara penyanyi yang seperti bercerita dari kejauhan. Pada saat itulah Simon paling bahagia—bukan karena dirinya didengar, tapi karena ia tahu, ada seseorang di luar sana yang sedang membutuhkan lagu ini.
Dan memang benar. Sering, telepon di meja operator berdering pelan.
“Selamat pagi Radio Tirilolok…”
“Pagi, Pak… bisa putar ‘Country Road’? Saya lagi di perjalanan ke kampung.”
“Bisa ibu… tunggu sebentar ya.”
Setiap permintaan ia catat, setiap suara ia dengarkan. Dalam dunia yang serba cepat, Simon memberi ruang untuk mendengar — sebuah keahlian yang semakin langka.
Sebuah Pesan untuk Kita
Di tengah dunia yang terkadang hiruk dan penuh pergulatan politik, ambisi, arus informasi, kita mudah lupa bahwa ada kebutuhan yang sederhana yakni mendengarkan. Mendengar bukan sekadar dengan telinga, tapi dengan hati. Mendengar lagu, mendengar rindu, mendengar kesunyian orang lain. Dan memberi ruang itu dengan ikhlas, dengan ketulusan adalah bentuk kemanusiaan yang paling nyata.
Simon mengingatkan kita bahwa setiap orang bisa menjadi penjaga harapan — tidak perlu menunggu posisi tinggi, tidak perlu sorotan lampu. Cukup dengan kesetiaan kecil, ketulusan sederhana. Karena kadang, yang dibutuhkan bukan suara paling lantang tapi suara yang bersahaja, yang jujur, yang mau mendengarkan.
Di sebuah pagi atau malam, ketika radio Tirilolok memutar lagu Country lewat tangan Simon, maka bukan hanya nada yang mengudara. Tapi rasa antara waktu, antara manusia. Dan dalam getar itu, kita bisa menemukan bahwa kita semua sesama penjaga mimpi, sesama pendengar, sesama yang haus akan pelukan suara dan penghiburan hati.
Sebagai sopir, Simon mengantar para penyiar dan staf ke berbagai tempat: liputan, kerja sosial, kunjungan desa, atau acara gereja. Di jalanan kering yang panjang, Simon setia memutar lagu country di mobil.
“Radio ini punya misi,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
“Kita ini suara bagi yang tak bersuara. Country hanya caraku ikut menyumbang suara—meski kecil.”
Ia tak pernah ingin menjadi penyiar terkenal. Ia tak ingin berada di depan. Ia memilih berada di belakang meja, memutar lagu, memastikan suara masuk dengan bersih, dan memerhatikan setiap detail yang mungkin terlewat.
Ketika malam menyelinap ke kota Kupang dan Radio Tirilolok menutup program harian, Simon biasanya sudah berada di rumah, duduk di beranda sambil menyeruput kopi.
Tapi meski ia tak lagi di depan konsol, lagu-lagu country yang diputarnya tetap hidup di udara—melayang melewati rumah, desa, dan jalan-jalan sunyi.
Mungkin di suatu tempat, seorang perantau mendengarnya sambil menahan rindu.
Mungkin seorang pekerja malam merasa ditemani. Mungkin seorang ibu menangis perlahan, memeluk kenangan yang kembali datang melalui nada.
Entah siapa pun mereka, Simon percaya satu hal, “Selama masih ada manusia yang butuh ditemani, musik tidak akan pernah berhenti.” Dalam setiap lagu yang ia putar, ada doa.
Dalam setiap jeda musik, ada keheningan yang menenangkan.
Dan dalam setiap tugas kecilnya, ada cinta yang bekerja diam-diam—seperti cahaya kecil yang tak pernah padam.














