Melestarikan Budaya Sagi dan Larik, Identitas Etnis Ngada Terjaga

Menjaga Eksistensi Budaya Sagi dan Larik.

Kota Kupang, TIRILOLOKNEWS.COM || REGIONAL – Radio TIRILOLOK menggelar acara Viral NTT dengan topik “Menjaga Eksistensi Budaya Sagi dan Larik” pada Sabtu, (6/9/2025) di studio Radio TIRILOLOK. Acara Viral NTT menghadirkan narasumber Drs. Cyrilus Sungga, sebagai pegiat budaya Larik Riung, serta Drs. Bei Marselinus, MM, selaku pegiat budaya Sagi So’a.

Pelestarian budaya Sagi dan Larik merupakan usaha menjaga dua tradisi khas Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, yang sarat makna sosial, spiritual, dan budaya. Tradisi tersebut menjadi simbol identitas etnis So’a dan Riung sekaligus memperkuat persatuan masyarakat NTT.

Dalam dialog interaktif, pegiat budaya Larik Riung, Drs. Cyrilus Sungga menjelaskan Larik adalah alat berupa cambuk dari kulit kerbau yang digunakan dalam pesta adat melas. Masyarakat Riung lebih sering menggunakan istilah Larik untuk menyembunyikan makna sakral melas, sebuah ritual yang melibatkan dua orang saling mencabuk dengan cemeti tersebut.

Melas memiliki nilai sakral tinggi karena terkait dengan keberlanjutan hidup manusia. Ritual tersebut mengingatkan masyarakat Riung pada mitos asal-usul tanaman pangan seperti jagung, padi, dan kacang-kacangan yang berasal dari dua leluhur, Raka dan Ruat. Kedua leluhur tersebut dicincang lalu darah dan tulangnya disebar ke kebun, hingga muncul tanaman pangan. Teze, yang mereka anggap sebagai orang tua, diyakini menerima suara tanaman yang mengakui dia sebagai ibu.

Ritus melas hanya boleh dilakukan di kampung adat dan pada waktu khusus, yakni sebelum musim tanam, sekitar akhir Agustus hingga awal Oktober. Melaksanakan ritual tersebut di luar waktu dan tempat yang diatur dianggap berbahaya dan bisa menimbulkan kemarahan leluhur.

Filosofi di balik melas mengajarkan penghormatan pada tanaman pangan sebagai bagian dari tubuh manusia—tulang, daging, dan darah. Penghormatan diwujudkan dalam kebiasaan menjaga makanan agar tidak terbuang sia-sia dan menghargai alam sebagai sumber kehidupan.

Drs. Cyrilus Sungga menyatakan pesta adat bukan beban sosial, melainkan sarana meneruskan nilai leluhur agar generasi berikutnya hidup bahagia dan saling berbagi kebahagiaan.

Sementara itu, pegiat budaya Sagi So’a, Drs. Bei Marselinus memaparkan tentang budaya Sagi So’a yang terkait dengan siklus musim tanam. Bulan Revoravo merupakan waktu persiapan lahan, kemudian bulan berburu untuk mengusir hama sebelum masuk bulan tanam Pegatusa.

Pujian terhadap padi juga menjadi bagian penting dalam budaya. Beberapa istilah melukiskan tahapan pertumbuhan padi dan hasil panen yang melimpah, termasuk proses penyimpanan padi di lumbung khusus dan ritual pembagian hasil panen kepada sesama sebagai simbol kebersamaan.

Drs. Bei Marselinus berharap agar orang tua terus melestarikan budaya lisan dan menuliskannya agar dapat diwariskan secara baik kepada generasi berikutnya. Penggalian nilai positif dari budaya perlu dilakukan agar tetap relevan dan menjadi sumber inspirasi kehidupan masyarakat.

Spirit Sagi dan Larik mencerminkan nilai-nilai luhur seperti keberanian, keuletan, semangat juang, persatuan, dan perdamaian.