Puasa dengan Hati: Bukan Sekadar Ritual ( Injil Lukas 5: 33-39)

Dalam Injil Lukas 5:33-39, Yesus menghadapi pertanyaan tentang puasa. Orang-orang bertanya mengapa para murid-Nya tidak berpuasa seperti yang dilakukan oleh murid-murid Yohanes dan kaum Farisi.

Yesus menggunakan perumpamaan kain baru pada pakaian lama dan anggur baru dalam kantong kulit yang lama untuk mengilustrasikan pentingnya menjalani praktik keagamaan dengan hati yang baru.

Dalam Injil Lukas 5:33-39, Yesus menghadapi pertanyaan tentang puasa. Orang-orang bertanya mengapa para murid-Nya tidak berpuasa seperti yang dilakukan oleh murid-murid Yohanes dan kaum Farisi. Yesus menjawab dengan sebuah perumpamaan yang mendalam. Yesus mengungkapkan esensi dari puasa dan waktu yang tepat untuk melakukannya.

Puasa dalam tradisi Yahudi adalah sebuah praktik yang diikuti dengan ketat. Puasa sering kali dilihat sebagai sebuah ungkapan kesalehan dan pertobatan. Namun, bagi banyak orang, termasuk kaum Farisi, puasa telah berubah menjadi sebuah ritual belaka. Puasa hanya dilakukan demi menjaga citra kesalehan di hadapan orang lain. Hati mereka menjadi tawar. Puasa yang dipraktekan oleh mereka telah kehilangan makna yang sebenarnya. Yesus melihat ini sebagai sebuah masalah, bukan karena puasanya itu sendiri, tetapi karena motivasi yang salah di baliknya.

Yesus menjelaskan bahwa selama Sang Mempelai Laki-laki, yakni Yesus sendiri, masih bersama dengan para murid-Nya, mereka tidak perlu berpuasa. Kehadiran-Nya adalah sumber sukacita dan puasa, yang biasanya diasosiasikan dengan kesedihan dan penyesalan, tidaklah tepat pada saat itu. Namun, Yesus juga menyatakan bahwa akan tiba saatnya ketika Sang Mempelai Laki-laki diambil dari mereka, dan itulah saat yang tepat bagi para murid untuk berpuasa.

Pesan ini mengingatkan kita bahwa puasa bukanlah sekadar kewajiban ritual yang harus dijalankan tanpa pemahaman. Puasa adalah sebuah undangan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, untuk merasakan kekosongan yang hanya bisa diisi oleh kehadiran-Nya. Ketika kita berpuasa, kita dipanggil untuk merenungkan apa yang benar-benar penting dalam hidup kita, untuk melepaskan diri dari segala sesuatu yang menghalangi hubungan kita dengan Tuhan.

Yesus menggunakan perumpamaan kain baru pada pakaian lama dan anggur baru dalam kantong kulit yang lama untuk mengilustrasikan pentingnya menjalani praktik keagamaan dengan hati yang baru. Jika kita berpuasa hanya sebagai formalitas, tanpa hati yang diperbarui, kita seperti menambalkan kain baru dengan pakaian lama—hal itu akan merusak semuanya.

Di sini, kita diajak untuk merenungkan: Apakah puasa kita didasarkan pada hubungan yang hidup dengan Tuhan? Atau apakah kita terjebak dalam rutinitas kosong yang tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah? Yesus mengingatkan bahwa tindakan keagamaan, seperti puasa, harus dilakukan dengan tujuan yang benar dan dengan hati yang tulus.

Sebagai murid Kristus, kita diajak untuk berpuasa dengan sikap yang benar. Puasa bukanlah tentang menonjolkan diri di hadapan orang lain, tetapi tentang merendahkan diri di hadapan Tuhan. Ini adalah waktu untuk membiarkan Tuhan bekerja dalam hati kita, memperbarui dan mengarahkan kita lebih dekat kepada-Nya. Dengan demikian, puasa menjadi lebih dari sekadar ritual; itu menjadi sebuah pertemuan yang mendalam dengan Tuhan, di mana kita diubahkan oleh kasih dan kehadiran-Nya.

Puasa adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan sekadar ritual tanpa makna. Ketika kita menjalani puasa dengan hati yang baru dan tulus, kita akan mengalami perjumpaan yang mendalam dengan Tuhan, yang akan mengubah hidup kita selamanya.