Potret Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Budaya Kawin Tangkap di Sumba

Menurut Ansi Damaris Rihi Dara, Budaya adalah bentukan manusia. Jika tidak sesuai dengan hak asasi manusia maka budaya tersebut bisa dirubah sesuai konteks.

Dalam Acara Viral NTT Radio Tirilolok pada Hari Sabtu, 27 Januari 2024, Direktris LBH Apik NTT, Ansi Damaris Rihi Dara menjelaskan Perkawinan anak bukan saja orang tua yang akan berhadapan dengan hukum, tetapi tokoh agama juga yang dikenai sanksi sebagai orang yang menikahkan.

Kota Kupang, TIRILOLOKNEWS.COM || REGIONAL – Dalam Acara Viral NTT Radio Tirilolok pada Hari Sabtu, 27 Januari 2024, Direktris LBH Apik NTT, Ansi Damaris Rihi Dara menjelaskan konteks perkawinan sudah diatur dalam undang-undang perkawinan yang melarang pemaksaan perkawinan dan  merupakan bagian dari pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan dan undang-undang kekerasan seksual, karena terdapat unsur paksaan.

Menurut Ansi Damaris Rihi Dara, Budaya adalah bentukan manusia. Jika tidak sesuai dengan hak asasi manusia maka budaya tersebut bisa dirubah sesuai konteks. Hal yang tidak bisa dirubah adalah hal-hal kodrati yang diberikan oleh Tuhan dan ini menjadi keresahan di NTT khususnya sumba. Karena itu pemerintah sudah membuat satgas yang sudah ada regulasi. Pergeseran nilai budaya menjadi penting untuk dilihat, namun perlu diingat adalah yang tidak bisa dirubah adalah kodrati dari Tuhan sedangkan budaya manusia dapat dirubah, karena kita yang berproses sesuai perkembangan zaman.

Ansi juga menambahkan konteks anak pun harus hati-hati, karena di desa-desa yang terbatas anak bisa dijadikan tumbal dalam konteks ekonomi keluarga, misalnya dijual atau dengan dipaksa kawin dengan orang yang ekonominya lebih tinggi . Perkawinan anak bukan saja orang tua yang akan berhadapan dengan hukum, tetapi tokoh agama juga yang dikenai sanksi sebagai orang yang menikahkan. Karena itu, pengurangan kekerasan terhadap Perempuan dan anak menjadi tugas kita semua baik toko agama, tokoh Masyarakat, dan tokoh adat.
Sementara, Kabid Perlindungan Perempuan Dinas PPA Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nikolaus Kewuan, S.Kep, NS, MPH, mengatakan di tanggal 2 Juli 2020 bersama empat Bupati telah menandatangani kesepekatan bersama yang menyatakan bahwa kawin tangkap bukan merupakan suatu tradisi atau budaya. Kesepakatan tersebut berlaku sejak 2020 sampai 2025 dan sudah melakukan riset untuk memperkuat sebagai bidang yang berperan untuk perlindungan terhadap Perempuan akan terus berupaya agar kesepakatan bersama ini bisa diperpanjang dan jangan lagi ada istilah budaya kawin tangkap.

Selain itu, ada catatan kritis jika anak sudah lewat dari 18 tahun harus mencari tahu terlebih dahulu jika perkawinan tersebut merupakan kemauannya sendiri berarti merupakan hak asasinya anak. Namun jika tidak mau maka perlu di lacak jangan sampai permasalahan ada pada orang tuanya. Karena jika anak yang berusia diatas 18 tahun namun tidak menghendaki, maka terdapat kekerasan.