Anamnese (Injil Yohanes 6: 52-59)

Ketika Yesus menawarkan diri-Nya sebagai santapan rohani, memunculkan banyak perdebatan di kalangan orang-orang Yahudi. “Bagaimana Ia dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan?”

Ketika Yesus menawarkan diri-Nya sebagai santapan rohani, memunculkan banyak perdebatan di kalangan orang-orang Yahudi. “Bagaimana Ia dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan?” Inilah pertanyaan skeptis sebagai reaksi terhadap Yesus yang menawarkan tubuh dan darah-Nya sebagai makanan rohani. Reaksi ini bisa dipahami karena di mata orang-orang Yahudi, mereka memandang darah sebagai  sumber kehidupan. Karena itu bagi mereka, menyentuh darah berarti najis. Pada kisah orang Samaria yang baik hati imam dan Levi tidak memberikan pertolongan pada korban karena  salah satu alasannya adalah karena takut menjadi najis bila menyentuh korban (lih Luk 10, 30-37).

Untuk bisa memahami secara lebih mendalam akan teks Injil ini, maka perlu menggali pemaknaan tentang roti kehidupan dengan berpatok pada dunia Perjanjian Lama. Umat Israel dalam Perjanjian Lama, diberi makan dengan roti manna dan burung puyuh oleh Allah saat melakukan pengembaraan  di padang gurun selama 40 tahun. Sebuah perjalanan yang jauh. Allah menopang kehidupan mereka dengan memberikan roti manna agar mereka bisa sanggup menggapai tanah terjanji. Dalam Perjanjian Baru sebagai puncak kepenuhan wahyu, kehadiran Yesus sebagai roti hidup yang telah turun dari surga, siap untuk memberi kehidupan kekal pada umat-Nya.

Pada moment tertentu, Yesus memperkenalkan diri sebagai roti hidup yang turun dari surga. Ketika Yesus dilahirkan di kandang Betlehem, ia dibaringkan dalam palungan, tempat meletakkan makanan hewan. Secara spiritual, bayi Yesus yang terbaring di palungan memberikan gambaran pada kita bahwa Ia sedang memperlihatkan diri pada dunia sebagai santapan rohani. Ia menjadikan palungan, tempat meletakkan makanan hewan sebagai sarana untuk memperkenalkan diri sebagai santapan rohani bagi dunia. Sang bayi Yesus berbaring di palungan, membiarkan diri-Nya sebagai santapan bagi domba-domba-Nya.

Pada malam perjamuan terakhir, ketika Yesus menetapkan Ekaristi, secara terbuka Ia menegaskan diri-Nya sebagai santapan rohani. Perjamuan terakhir tidak sekedar makan bersama namun ada kenangan berharga yang diwariskan oleh Yesus. Ia mengorbankan diri di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. “Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.”
Makanan jiwa dan roh kita adalah Roti Hidup yakni Kristus, yang kita santap melalui komuni suci dalam Ekaristi. Menerima komuni suci berarti membuka diri dan menerima Kristus, Sang Roti Hidup menjiwai hidup kita.  “Anugerah keselamatan yang kita terima melalui Ekaristi tidak boleh berhenti hanya pada diri kita. Suka cita keselamatan itu patut diwartakan dan ditawarkan kepada sesama.” Ekaristi, sebuah kenangan, anamnese.***