In Memoriam: Kisah Kebijaksanaan dan Kepemimpinan Uskup Emeritus Anton Pain Ratu

Menelusuri perjalanan luar biasa Uskup Emeritus Anton Pain Ratu, seorang tokoh kharismatik yang melalui pendidikan, tahbisan, dan pengabdian, menorehkan inspirasi dan kesaksian bagi kehidupan rohani.

Uskup Emeritus Anton Pain Ratu tutup usia

Kota Kupang, TIRILOLOK.COM  || REGIONAL – Uskup Emeritus Anton Pain Ratu, seorang tokoh kharismatik, lahir pada 2 Januari 1929 di Lamawolo, terhubung erat dengan Paroki Tanah Boleng, Keuskupan Larantuka, Flores. Perjalanan hidupnya mengikuti jejak pendidikan dari Sekolah Rendah di Tanah Boleng dan Larantuka pada 1936-1939, hingga Seminari SMP dan SMA di Mataloko-Bajawa dari 1942 hingga 1950. Setelahnya, Anton terus menapaki jalan pendidikan menuju Seminari Tinggi di Ledalero-Maumere hingga 1958.

Kaul kekalnya pada 15 Agustus 1957 menjadi penanda komitmennya terhadap panggilan, sementara pendidikannya merambah luas dari kursus bahasa hingga gelar BA dan MA di Antropologi dan Katekese Pastoral dari Universitas Ateneo de Manila.

Beragam tahbisan melingkupi perjalanan rohaninya. Ditahbiskan sebagai diakon pada 1957 dan sebagai Imam pada 15 Januari 1958, di Nita-Maumere oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD, dengan moto tahbisan “Ecce Venio.”

Puncaknya terjadi pada 21 September 1982, saat ditahbiskan menjadi Uskup oleh Mgr. Theodorus van den Tillaart, Uskup Atambua, dengan moto “Maranata.” Anton Pain Ratu memilih moto ini dengan keyakinan akan kehadiran Tuhan dalam menjalankan panggilannya.

Sebagai Uskup Pembantu pada Uskup Atambua, Anton memulai tugasnya, mengawali peran berpastoral di Paroki Nita-Maumere hingga terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan politik di Kabupaten TTU.

Pada tahun 1971, Anton Pain Ratu memegang peran penting sebagai Ketua Tim Pastoral 3-BER, suatu pendekatan pastoral yang mengedepankan kebersamaan dan perubahan masyarakat secara induktif. Pengabdian ini berujung pada penunjukan beliau sebagai Uskup Keuskupan Atambua.

Sejak pensiun sebagai Uskup pada tahun 2007, Anton Pain Ratu, yang dijuluki dengan berbagai gelar seperti “Uskup Topi Merah” karena kehadirannya yang menyejukkan dalam kasus-kasus konflik, “Uskup Rakyat Kecil” karena kedekatannya dengan rakyat kecil, “Uskup Sendal Jepit” karena kesederhanaannya, hingga “Uskup Pengungsi” karena perhatiannya pada para pengungsi, beliau terus berada di Pastoran SMK St. Pius X Insana di Bitauni hingga tahun 2015.

Kisah hidupnya tak hanya terpaku pada jabatan dan pengabdian, tetapi juga pada usahanya memperjuangkan Khalwat 3-BER, suatu pola proses pastoral yang didasari oleh metode induktif dan pendekatan antropologis. Dalam hal ini, Anton Pain Ratu mengedepankan prinsip-prinsip dasar seperti martabat manusia, diselamatkan Kristus, dan pembinaan oleh Roh Kudus dalam Gereja.

Keunikan dari Anton Pain Ratu tidak hanya terlihat dari dedikasi dan pengabdian rohaninya, tetapi juga dari kebiasaan uniknya. Kesederhanaan dalam hidupnya tercermin dari kebersihan dan ketertiban dalam arsip dokumen, penulisan khotbah-khotbahnya secara manual, hingga kemampuannya dalam berbagai bahasa.

Beliau bukan hanya seorang tokoh agama yang karismatik, tetapi juga seorang praktisi, dengan komitmennya pada praktek dibandingkan hanya teori. Beliau tak hanya memberi nasihat rohani, tetapi juga aktif dalam mengubah pola pikir dan memberdayakan masyarakat, memerangi kesenjangan dan menyuarakan keadilan.

Anton Pain Ratu, melalui kehadiran dan karyanya, membuktikan bahwa kehidupan rohani tidak terbatas pada ruang gereja, tetapi juga dalam setiap tindakan nyata untuk kebaikan bersama. Dalam semua perannya, ia telah menjadi teladan dari pemimpin spiritual yang sesungguhnya.

Hari ini, genap berusia 95 tahun, Uskup Emeritus Anton Pain Ratu berpulang ke pangkuan Sang Khalik. Terimakasih Bapak Uskup atas jasa, pengbadian dan warisanmu.

Tulisan ini disadur dari  tulisan RD. Yudel Neno di Kompasiana dengan judul Menenun Riwayat Hidup Mgr. Anton Pain Ratu, SVD.