Renungan Katolik 06 Februari 2024: Memuliahkan Allah Bukan Hanya Dengan Bibir Tetapi Dengan Hati (Markus 7:1-13)

Saya punya pengalaman dengan seorang ibu yang sangat baik hati. Nama ibu adalah Herawati. Dia sudah meninggal. Saya yakin dia sudah berhagia di Surga.

Melayani dan menyembah serta memuliahkan Allah dengan hati jauh lebih tinggi dari dengan ucapan bibir belaka.

Saya memiliki pengalaman yang luar biasa dengan seorang ibu yang sangat baik hati. Namanya adalah Ibu Herawati, meskipun dia sudah meninggal, saya yakin dia sudah berbahagia di Surga. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, saya ditugaskan untuk merayakan misa di sebuah Paroki di wilayah Keuskupan Surabaya selama satu minggu. Saya tinggal di pastoran karena para romo yang bertugas di paroki tersebut sedang mengikuti retret tahunan.

Sesudah selesai Misa suatu pagi, ibu Herawati datang menemui saya. Dia mengungkapkan kegembiraannya dan berkata bahwa dia sangat terkesan dengan renungan saya pagi itu. Saya secara spontan memberkati ibu Herawati dan mengucapkan terima kasih banyak atas kehadirannya dalam misa pagi tersebut, serta senang bahwa dia tersentuh dengan renungan saya. Kami pun berkenalan dan berbagi sedikit pengalaman tentang keluarga kami masing-masing.

Sebelum Ibu Herawati pulang ke rumahnya, dia memberikan pesan kepada saya. Dia berkata, “Romo, nanti saya akan memperhatikan Anda karena Anda sendirian di paroki ini.” Saya menjawab dengan baik dan berterima kasih kepada ibu Herawati. Pengalaman itu menjadi sangat menarik ketika keesokan harinya, setelah misa pagi, ibu Herawati memberi saya dua baju kaos yang sangat bagus dan cocok, serta sore harinya dia memberikan buah-buahan. Setiap hari, dia selalu membawa sesuatu untuk saya, entah itu makanan atau uang. Saya sangat merasakan kebaikan dan perhatian ibu Herawati selama saya berada di paroki tersebut.

Pada hari sebelum saya kembali ke Biara SVD, saya bertanya kepada ibu Herawati mengapa dia begitu baik dan penuh perhatian kepada saya. Dia menjawab dengan singkat, “Romo, kalau janji hanya di bibir saja, tidak enak.” Ibu Herawati tidak hanya berjanji di bibir saja, tetapi hatinya juga tulus dan penuh pengorbanan kepada saya.

Renungan dari pertemuan dengan ibu Herawati mengingatkan saya pada Injil hari ini, Markus 7:1-13. Injil ini membawa kita untuk merenungkan tuntutan hidup bersama dalam masyarakat, terutama dalam hal mentaati tradisi dan adat istiadat. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat mengkritik ketidakpatuhan murid-murid Yesus terhadap tradisi.

Yesus dengan bijaksana tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga menyentuh inti masalah hidup ini. Ia menyoroti bahaya ketika tradisi dianggap lebih berharga daripada ketaatan hati kepada Allah. Ketika itu terjadi, orang akan kehilangan esensi hidup yang sebenarnya. Pertarungan antara tradisi dan hati menjadi pusat pembelajaran bagi kita.

Masyarakat sering kali menempatkan keberlanjutan tradisi sebagai tanda identitas dan kesetiaan. Namun, Yesus menegaskan bahwa ketika tradisi menghalangi kepatuhan hati kepada Allah, saat itulah perluasan makna moralitas terjadi. Hidup bersama dalam masyarakat bukanlah hanya tentang mematuhi tradisi secara buta, melainkan menggali nilai-nilai yang mendorong cinta, kasih, dan keadilan.

Refleksi ini mengajak kita untuk mengevaluasi peran tradisi dalam kehidupan kita. Apakah tradisi yang kita anut membawa nilai-nilai positif dan mendalam, atau justru menghambat pertumbuhan rohani dan kasih kita kepada sesama? Pertanyaan ini memicu refleksi pribadi yang membimbing kita menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang arti hidup bersama dalam bingkai tradisi.

Mari kita belajar dari ajaran Yesus yang mengajarkan kita untuk menyembah Allah dengan hati yang murni dan tulus, serta dari ibu Herawati yang melakukan pelayanan kepada sesama bukan hanya di bibir, tetapi juga dengan tindakan nyata yang tulus.

Penulis: P. Dismas Longginus Mauk, SVDEditor: Anastasia Bunga Kedang