Oscar Romero: Teladan dalam Hidup Menggereja

Sebuah Refleksi atas Perjuangan Uskup Oscar Romero Melawan Pemerintahan Otoriter.

Oscar Romero

Hidup dan Perjuangan Oscar Romero

Paulist Pictures, sebuah perusahaan produksi film, pernah merilis film dokumenter berjudul “Romero” pada tahun 1889. Film itu mengisahkan perjuangan uskup Oscar Romero melawan ketidakadilan sosial yang terjadi di El Savador tahun 1970-an.

Oscar Romero lahir di Ciudad Barrios, El Savador pada 15 Agustus 1917. Dia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1942. Pada tahun 1970 Romero diangkat sebagai uskup pembantu di San Salvador dan kemudian tahun 1977 dia diangkat menjadi uskup Agung. Pada saat itu, di wilayah El Savador sedang terjadi konflik sosial dan politik. Ada banyak ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah dan represi militer terhadap kaum miskin. Keprihatinan terhadap ketidakadilan yang dialami oleh kaum miskin di El Savador, membangkitkan semangat Romero untuk menyuarakan hak-hak kaum lemah yang ditindas di El Savador.¹

Oscar Romero dengan lantang mengecam berbagai tindakan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah El Savador dan secara tegas menghimbau untuk menghentikan represi militer. Melalui khotbah dan karya pelayanannya, Romero menunjukan pembelaan dan keberpihakannya terhadap kaum minoritas yang tertindas di El Savador. Namun karena aksinya tersebut, Romero ditembak pada 24 Maret 1980 saat sedang memimpin misa di sebuah kapela rumah sakit San Salvador. Kematian Oscar Romero kemudian membangkitkan kesadaran dan semangat dari banyak orang, khususnya masyarakat El Savador pada waktu itu untuk terus berjuang dan berani meyuarakan keadilan.²

Dewasa ini banyak pertanyaan dan perdebatan yang timbul seputar tema relasi Gereja dan politik. Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah Gereja boleh terlibat dalam ruang politik? Dan jikalau boleh, kira-kira sejauh apa keterlibatan Gereja diperbolehkan dalam ruang politik? Hemat saya, kisah perjuangan Romero dalam melawan pemerintahan yang tidak adil di El Savador, menarik untuk dibahas dalam konteks pembicaraan tentang Gereja dan politik. Dalam tulisan ini, penulis mencoba membuat sebuah refleksi sederhana atas perjuangan uskup Oscar Romero, dengan merujuk pada dokumen Gaudium Et Spes.

Pandangan Gereja dalam Gaudium Et Spes tentang Hidup Bernegara

Gereja katolik membahas secara khusus tentang hidup bernegara dalam dokumen Gaudium Et Spes. Dalam dokumen tersebut, terungkap kesadaran Gereja akan pentingnya membangun kerja sama dengan negara demi mencapai kesejahteraan umum dalam kehidupan bersama. “Negara ada demi kesejahteraan umum”³ (Art. 74) dan umat kristen diharapkan mampu menyadari panggilannya yang khas dalam hidup bernegara, yakni mengupayakan peningkatan kesejahteraan umum (Art. 75).⁴

Dalam konteks relasi Gereja dan negara, mesti disadari pula adanya sifat yang otonom (tidak saling bergantung) dari keduanya. Gereja dan negara, memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Namun sekalipun memiliki tugas dan wewenang yang berbeda, keduanya tetap sama dalam hal pelayanan terhadap masyarakat yang sama. Dalam konteks ini, kerja sama antara Gereja dan negara dibutuhkan agar meningkatkan efektifitas pelayanan masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan umum. Lebih lanjut dalam Gaudium Et Spes artikel 76 dijelaskan:

Namun, selalu dan di mana-mana hendaknya ia (Gereja) diperbolehkan dengan kebebasan yang sejati mewartakan iman, menyampaikan ajaran sosialnya, menunaikan tugasnya dalam masyarakat tanpa dihalang-halangi, dan menyampaikan penilaian moralnya, juga tentang hal-hal menyangkut tata politik, bila dituntut oleh hak-hak asasi manusia atau oleh keselamatan jiwa-jiwa, dengan menggunakan semua dan hanya bantuan-bantuan yang sesuai dengan Injil serta kesejahteraan-kesejahteraan semua orang, menanggapi zaman maupun situasi yang berbeda-beda.⁵

Keterlibatan Gereja dalam dunia politik, mesti didasari oleh upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut (kesejahteraan umum), Gereja juga harus menyadari posisinya sebagai lembaga independen yang tidak boleh terikat dengan sistem politik mana pun. Gaudium Et Spes, mendukung keterlibatan Gereja dalam ruang politik dengan batasan-batasan tertentu, dalam hal ini Gereja tidak diperkenankan untuk ikut dalam kontes politik apalagi berupaya untuk memegang jabatan tertentu dalam suatu sistem politik.

Memaknai Perjuangan Oscar Romero dari Sudut Pandang Gaudium Et Spes

Sebelum menjadi pejuang yang menentang ketidakadilan di El Savador, Romero adalah seorang yang agak kaku (boleh dikatakan konservatif) dan nirpolitik. Dia beberapa kali mengkritik para biarawan-biarawati yang terlibat dalam ruang politik. Romero menilai bahwa mereka terlalu dekat dengan ide-ide revolusi dan menjauhkan diri dari tugas Gereja yang sebenarnya. Pada jauh hari kemudian, Romero menyadari kekeliruan dari sikap dan pandangannya ini. Perjumpaan yang intens dengan orang-orang miskin dan melarat serta kematian dari teman dekatnya, Rutilio Grande, secara tidak langsung menyadarkan Romero akan pentingnya memperjuangkan keadilan di El Savador.⁶

Saat memperjuangkan keadilan di El Savador, Oscar Romero sering dikritik bahkan diancam karena dinilai terlalu banyak terlibat (ikut campur) dalam dunia politik. Dalam beberapa kesempatan, Oscar Romero juga dituduh sebagai anggota komunis yang memberontak terhadap pemerintahan El Savador. Kritikan seperti ini, tidak hanya datang dari pihak di luar Gereja, tetapi juga dari sesama anggota Gereja bahkan oleh sesama kaum klerus di El Savador.⁷ Di sini, kita boleh bertanya, apakah perjuangan Romero bertentangan dengan hukum yang berlaku di dalam Gereja?

Dalam Gaudium Et Spes art. 76, dinyatakan bahwa hendaknya Gereja tidak dilarang untuk menyampaikan gagasannya dalam ruang politik, bila itu dituntut oleh Hak Asasi Manusia dan keselamatan jiwa dari umat manusia. Jika kita merujuk pada dokumen tersebut, agaknya tidak berlebihan jika kita membenarkan dan mengapresiasi perjuangan Oscar Romero dalam mewujudkan keadilan di El Savador. Keterlibatan Romero dalam ruang politik lahir dari sebuah tuntutan untuk membela hak-hak kaum miskin yang ditindas oleh pemerintahan yang otoriter. Dalam konteks ini, Romero telah menunjukkan partisipasinya dalam mewujudkan komitmen Gereja, untuk meningkatkan kesejahteraan umum dalam kehidupan bernegara.

Perjuangan Romero dalam melawan ketidakadilan di El Savador, ditunjukkannya lewat dua cara, yakni melalui kata (khotbah) dan tindakan. Pertama, dalam khotbah-khotbahnya, Romero bertitik tolak pada teks Kitab Suci dan kemudian mengaitkannya dengan kenyataan aktual yang sedang terjadi di El Savador pada waktu itu. Romero dengan lantang menyerukan upaya untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Seperti halnya nabi-nabi dalam perjanjian lama menggugat ketidakadilan di zaman mereka, demikian pula Romero menggugat ketidakadilan di negerinya.⁸

Kedua, Romero juga terlibat secara langsung dalam aksi memperjuangkan keadilan di El Savador. Bersama teman-temannya, dia membantu mencari para korban yang hilang, membuka ruang dialog dengan pemerintah, membantu para korban penindasan, dan dia tidak takut menghadang para militer yang hendak menyerang warga El Savador.⁹ Kepeduliannya yang besar terhadap penderitaan masyarakat El Savador, membangkitkan semangat dan keberaniannya untuk melawan pemerintahan yang otoriter. Muncul pertanyaan baru di sini, apakah keterlibatan Romero dalam melawan pemerintahan yang otoriter tidak berlebihan?

Dalam perjuangannya melawan ketidakadilan di El Savador, Romero benar-benar menyadari posisinya sebagai seorang pastor. Upaya yang dilakukannya hanya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan di El Savador, dia tidak berharap mendapatkan jabatan tertentu dari perjuangannya. Saat ditawar untuk bekerjasama dengan pemerintahan El Savador yang otoriter, Romero menolaknya dan malah menuntut para penguasa di El Savador untuk berhenti menindas masyarakat kecil. Sikap seperti ini, menunjukan kesungguhannya dalam mewujudkan komitmen Gereja, untuk meningkatkan kesejahteraan dalam hidup bernegara, sebagaimana termaktub dalam dokumen Gaudium Et Spes.

Berkaca dari perjuangan Oscar Romero, hendaknya Gereja tidak menutup mata apalagi bersikap masa bodoh terhadap berbagai persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakat, secara khusus yang berkaitan dengan persoalan politik. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa keterlibatan Gereja dalam ruang politik turut menimbulkan perdebatan di masyarakat. Ada pihak yang mendukung dan tidak sedikit pula yang menolaknya, tetapi hendaknya hal ini tidak menyurutkan semangat Gereja dalam mewujudkan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan dalam hidup bernegara.

Endnote 

¹Martin Maier, Oscar Romero, Penerj. Fidelis Regi Waton (Maumere: Penerbit Ledalero, 2008), hlm. 3-28.

²John Duigan, dir., Romero, Paulist Pictures, 1889, Ditonton.com, 7 Agustus 2020.

³Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R. Hardawirayana SJ, cetakan XII (Jakarta: Obor, 2013), hlm. 624.

⁴Ibid., hlm. 628.

⁵Ibid., hlm. 629-630.

⁶Martin Maier, op.cit., hlm. 17-21

⁷John Duigan, dir., Romero, loc. cit.

⁸Martin Maier, op.cit., hlm. 86

⁹John Duigan, dir., Romero, loc. cit.