Term Apostolik barangkali masih sangat asing bagi sebagian orang di luar sana, sehingga perlu diketahui bahwa Apostolik merupakan salah satu dari tiga sifat gereja, yaitu Kudus, Katolik dan Apostolik itu sendiri. Secara etimologis, kata Apostolik berasal dari bahasa Yunani, “apostolos” yang berarti “yang diutus” atau “utusan.” Dalam konteks Gereja Katolik, Apostolik dimaknai sebagai sifat sekaligus tugas Gereja dalam mewartakan Kerajaan Allah. Selain Kudus dan Katolik, sifat apostolik gereja sekiranya terproyeksi jelas melalui kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia.
Kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia pada tanggal 3 september 2024 hingga 6 september 2024 sebagai pemimpin tertinggi gereja Katolik Roma, menjadi yang kedua setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II di Indonesia pada tahun 1989 silam. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan bagi sebagian umat katolik, apa alasan Paus mengunjungi negara yang bermayoritaskan penduduk yang memeluk agama Islam ini? Pertanyaan ini sekiranya mendapatkan jawabannya melalui perjalanan Apostolik Paus Fransiskus selama tiga hari di Indonesia. Sejak awal, kedatangannya selalu menjadi sorotan publik, entah karena pesawat komersil yang la gunakan sebagai transportasinya dari Italia ke Indonesia, menggunakan kendaraan berupa mobil biasa (innova zenix) yang tidak memiliki perlengkapan anti peluru dan proyektil, jam tangan Casio seharga Rp 232 ribu, hingga keputusannya yang menolak untuk menginap di hotel dan lebih memilih untuk menginap di kedubes Vatikan di Indonesia. Serangkaian hal ini tentu saja menjadi kejutan bagi warga Indonesia. Banyak yang mengklaim bahwa kesederhanaan yang menjadi ciri khas Paus ada kesederhanaan yang tidak dapat ditemukan dalam tokoh-tokoh besar dunia, dan tidak sedikit juga yang memanfaatkan momen ini untuk mengkritisi penampilan pemerintah Indonesia yang kesannya mewah dan hedonis.
Perjalanan Apostolik Paus Fransiskus di Indonesia tidak hanya sampai pada kesederhanaan yang ia tunjukkan. Paus Fransiskus melalui beberapa momen perjalanannya, tidak pernah lupa untuk memberikan pesan perdamaian dan kesatuan. Salah satu momen ketika Paus Fransiskus bertemu Presiden Indonesia, Joko Widodo, bisa jadi contoh keprihatinan Paus terhadap polemik kekuasaan dan disintegrasi.
“Kadang-kadang, ketegangan-ketegangan dengan unsur kekerasan timbul di dalam negara-negara karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi mereka bahkan dalam hal-hal yang seharusnya diserahkan kepada otonomi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berkaitan,” ujar Paus saat bertemu Jokowi.
Keprihatinannya ini, justru seharusnya menjadi sebuah seruan akan kebobrokan pemerintahan di Indonesia. Banyaknya tindakan intoleransi yang terjadi di Indonesia menjadi bukti bahwa Indonesia tidak hanya darurat secara politis. tetapi juga Indonesia masih mengalami degradasi moral. Selain itu, terjadinya polarisasi di kalangan masyarakat juga menjadi salah satu aspek yang perlu disoroti. Kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yang bermayoritaskan penduduk agama Islam, seakan membenarkan tindakan beberapa oknum untuk berperilaku di luar batas wajar. Pernyataan Ustad Alfian Tanjung sekiranya menjadi salah satu bukti konkret bahwa nilai-nilai agama yang dijunjung tinggi tidak dapat menjamin rasa empati atas kemanusiaan dan pengetahuan yang baik akan agam itu sendiri. Dalam pernyataannya, Ustad Alfian secara gamblang meminta Paus unutuk segera dideportasi dengan alasan kedatangan Paus yang tidak menguntungkan bagi pihak agama Islam. Ia juga menyatakan bahwa para tokoh-tokoh Islam seharusnya bertindak tegas demi kenyamanan kolektif. Setelah video pernyataannya ini viral di media sosial, maka tentunya hal ini menyebabkan masyrakat kembali berada dalam keadaan terpolarisasi.
Di sisi lain, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar mencium kening Pemimpin Katolik Dunia Paus Fransiskus yang kemudian Paus Fransiskus merespons dengan mencium tangan Prof Nasar. Ini merupakan salah satu bukti kecil yang ditunjukkan Paus Fransiskus dalam menjunjung tinggi toleransi, bahwa esensi toleransi sejatinya berasal dari kerelaan dan kesadaran untuk menunjukan sikap rendah hati terhadap sesama tanpa memandang suku, ras maupun agama.
Serangkaian dinamika perjalanan Apostolik Paus Fransiskus di Indonesia sejatinya mengingatkan kita umat Katolik pada satu ayat Alkitab, Mat 16:24 yang berbunyi: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikuti Aku. Ayat Alkitab ini sekiranya menjadi titik tolak bagi umat Katolik modern untuk senantiasa memaknai salib sebagai sebuah kesukacitaan dan kerelaan untuk mengikuti Yesus Kristus sebagai Guru, Juru Selamat dan Anak Allah. Ayat ini juga menegaskan tentang peliknya kehidupan sebagai umat Katolik, khususnya umat Katolik di Indonesia yang senantiasa berada dalam terpaan badai zaman yang semakin sekularis. Glamornya dunia saat ini tentunya menawarkan berbagai macam kepuasan duniawi yang tidak dapat disangkal sangat menggiurkan.
Dengan menjadi bagian dari Gereja pilihan Allah, sudah seharusnya kita merenungkan serta menunjukan kepada dunia, bahwa Gereja Katolik adalah gereja yang progresif bukannya konservatif, dan Gereja katolik adalah Gereja yang Apostolik, sebagaimana Paus Fransiskus yang mewartakan sabda Allah melalui kesederhanaannya.